Guru
Cerewet Favoritku
IPS
merupakan pelajaran favoritku, apalagi Sejarah. Di sela-sela aku sedang
istirahat, biasanya kuluangkan waktuku untuk membaca buku-buku ensiklopedia
yang bertemakan sejarah. Tidak hanya di buku saja aku memperoleh pengetahuan tentang
sejarah. Di TV, bahkan di situs jejaring sosial seperti Twitter yang sering aku
buka lewat laptopku pun, aku tidak “labil ilmu” mengenai Sejarah dengan
memFollow akun Twitter yang suka mengetweet suatu hal tentang Sejarah dan
referensi pengetahuan sosial lainnya.
Mengenai
kaitan antara sekolah dengan Sejarah, pasti ada kaitannya, karena Sejarah
merupakan Ilmu pengetahuan yang termuat dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial atau biasa disingkat IPS. Apalagi saat ini aku duduk di bangku kelas 9 SMP,
kelas akhir dalam Sekolah Menengah Pertama. Itu artinya, sebentar lagi aku akan
menghadapi Ujian Nasional, kurang lebih 5 bulan lagi. Tetapi sayang, IPS tidak
termasuk dalam mata pelajaran yang akan diujikan dalam ujian nasional. Tetapi
aku tidak berkecil hati, toh walaupun tidak ada dalam ujian nasional, yang
penting aku mengerti dan dapat memahami sesuatu yang berkaitan dengan
pengetahuan sosial.
Kenapa
IPS merupakan pelajaran favoritku? Karena saat aku kelas 5 SD, guru kelas ku
mengajar tentang sejarah, tepatnya tentang Penjajahan Belanda di Indonesia.
Guruku pun menceritakannya dengan penuh semangat seolah-olah ia ikut terjadi
dalam peristiwa itu. Aku yang mendengarkannya pun terkesima juga, sama seperti
guruku itu, seolah-olah hadir dalam peristiwa itu. Apalagi saat ia bercerita
tentang tokoh penentang tanam paksa Van Den Bosch yang semena-menanya terhadap
rakyat Indonesia. Van Den Bosch memaksa ribuan rakyat Indonesia untuk menanam
tanaman-tanaman yang diperlukan oleh bangsa Belanda untuk keperluan logistik
perang&kebutuhan sehari-hari tanpa diberi upah, yang dikenal dengan kerja
rodi.Tidak sedikit pula rakyat Indonesia yang meninggal karena kelaparan akibat
kerja paksa ini. Aku pun membayangkan betapa kejinya rakyat Belanda terhadap
Indonesia saat itu.
Jika
bicara tentang guru IPS, apalagi guru IPS ku kelas 9 ini, hmm.. sangat
berkarakter sekali gurunya. Awalnya aku benci dan kesal kepadanya, karena guru
ini terkenal dengan “Cerewet” nya di sekolahku. Namanya adalah bu Wati. Aku
tidak menyangka, pelajaran IPS kelas 9 diajarkan olehnya. Karena aku dan
teman-temanku mengira bahwa pelajaran IPS, yang mengajar kami adalah Pak Yadi,
seperti kelas 9 tahun sebelumnya. Saat mengetahui Bu Wati yang mengajar, urat
nadiku langsung bergetar halilintar.
Saat pelajaran
pertama ibu cerewet ini, aku dan teman-temanku, termasuk Rahman teman
sebangkuku, berusaha untuk tidak ribut dalam pelajaran ini. Kami berbuat
seperti itu karena kami takut terkena semburan bicaranya, yang pernah aku alami
saat sedang ulangan di kelas 8. Saat aku sedang ulangan, aku merasa kepanasan.
Oleh karena itu, aku lalu mengipas-ngipas badanku. Saat bu Wati mengetahui aku
sedang berkipas, sontak guru itu langsung memarahiku.
“Hei
kamu, yang duduk dibelakang, mau ulangan apa kipasan!” Teriak bu Wati yang
sedang membagikan kertas soal ulangan.
“Panas
bu.” Jawabku.
“Kalo
panas diluar sana, cari tempat yang dingin.” Teriak guruku lagi. Saat itulah,
aku kesal kepadanya.
Pelajaran
pertama yang Bu Wati ajarkan kepada kami adalah Ilmu Geografi, yaitu tentang
negara maju dan negara berkembang. Bu Wati pun memaparkan seluk bekuk tentang
negara maju dan negara berkembang. Indonesia misalnya yang merupakan negara
berkembang di dunia ini pun tak luput dari pemaparannya. Ia berkomentar,
mengapa negara Indonesia yang besarnya sedemikian rupa ini, yang mempunyai
kekayaan alam berlimpah ruah tidak digunakan dengan seefisien mungkin. Bu Wati
pun mengajak kami selaku generasi penerus untuk lebih efisien dan giat
membangun tanah air Indonesia ini.
Ternyata
eh ternyata, diajar olehnya cukup asyik juga. Mengapa begitu? Karena
disela-sela ia sedang menerangkan pelajaran, ia bercerita tentang pengalamannya
saat disuruh oleh guru IPS nya untuk super visi pelajaran IPS saat ia masih
duduk di bangku SMP. Karena Bu Wati sangat menyukai pelajaran IPS, maka
pelajaran IPS itu mudah saja baginya. Tantangan dari gurunya itupun mudah saja
dilewatinya. Setelah melewati tantangan itu, Bu Wati meminta upah kepada guru
IPSnya saat itu, upah yang dimintanya adalah Pempek dengan cuka dua botol.
Sontak kami pun tertawa dengan curhatan ibu ini, apalagi mengenai cuka dua
botolnya itu.
Keesokan
harinya, karena pembahasan Ilmu Geografi telah selesai, maka selanjutnya adalah
pelajaran yang selalu aku tunggu-tunggu, yaitu pelajaran Sejarah. Materi
pertama sejarah adalah tentang Perang Dunia ke-1 dan 2. Bu Mila pun
menerangkannya dengan lugas dan jelas, dan tak lupa olehnya juga diselingi
dengan curhatan-curhatan yang membuat kami sekelas termasuk aku tertawa
terbahak-bahak. Rupanya memang aku harus sangat mensyukuri diajarkan oleh ibu
cerewet ini, karena saat mengajarkan pelajaran IPS seperti Sejarah ini lebih
cepat meresap, seolah-olah aku juga berada di tempat kejadian bersejarah itu.
Hari-hari
diajar oleh Bu Wati telah dilalui sampai sekarang. Pelajaran Bu Wati ini ada
setiap hari Selasa dan Rabu. Selasa pada jam terakhir pelajaran, Rabu saat jam
awal pelajaran. Tidak jarang ibu cerewet ini curhat di kelas kami, tidak jarang
pula ibu ini mencereweti kelas kami akibat kelakuan kami, contohnya saat
sebagian teman sekelasku yang makan permen di kelas saat beliau sedang sibuk di
Ruang Guru. Saat temanku kepergok sedang makan permen, Bu Wati pun langsung
memarahi kami.
“Siapa
yang makan permen di kelas?Keluar ke lapangan sekarang!” Tanyanya dengan nada
tinggi sambil berlenggang menuju kantor.
Guru itu
pun keluar. Karena kami sangat menjunjung tinggi solidaritas, maka kami sekelas
menuju lapangan. Tetapi tak terlihat Bu Wati saat itu, maka kami menghubungi
guru kelas kami, Bu Pristi yang sedang duduk di meja piket. Bu Pristi pun
menanyai kami perihal kami yang berbondong-bondong menuju lapangan.
“Ada
masalah apa kalian? Kok sekelas kesini semua?” Tanya Bu Pristi.
“Gara-gara
kami makan permen di kelas, Bu. Terus yang tadi makan permen disuruh ke lapangan
bu sama Bu Wati.” Jawab teman sekelasku, Rika dengan singkat.
“Kenapa
bisa makan permen di kelas? Ini semuanya yang makan? Herman, kamu juga makan
permen?” Tanya bu Pristi lagi, kali ini aku pun ditanyainya aku ikut makan
permen di kelas atau tidak.
“Mungkin
gara-gara pelajaran IPA sebelum mata
pelajaran IPS, Bu. Pelajaran IPA tadi, kami sempat bermain teka-teki, siapa
yang dapat menjawab maka ia akan mendapat permen. Saya tidak ikut makan bu,
tetapi saya ikut teman-teman kesini.” Jawabku dengan lugas.
“Berarti
itu kesalahan kalian juga karena makan di kelas. Sekarang, minta maaflah kepada
Bu Wati, dan berjanji tidak akan mengulangi hal itu lagi.” Ucap guru kelas kami
itu.
Kami pun
kembali ke kelas, Bu Wati rupanya sudah berada dalam kelas dan memarahi kami
semua. Kami pun meminta maaf atas kejadian itu. Setelah itu, kami kembali
belajar seperti biasanya.
**
Tidak
terasa, kami telah melakukan tiga kali ulangan harian. Ulangan harian pertama
dan kedua, aku berhasil tuntas dan tidak harus remedial ulangan. Sedangkan
ulangan harian ketiga tentang materi Sejarah, nilaiku dibawah KKM alias tidak
tuntas. Hal itu dikarenakan soal ulangan
yang aku kerjakan bertolak belakang dengan apa yang aku pelajari, padahal aku
sudah bekerja keras belajar agar tuntas dalam materi Sejarah. Tetapi bagiku
nilai tidak seberapa penting, yang penting ilmu yang kita dapat dan berguna
untuk kehidupan sehari-hari dan masa depan kelak. Demikian pula dengan masalah
pelajaran. Segalak apapun guru itu, secerewet apapun guru itu, toh kita juga
yang ingin memperoleh ilmu, kita juga yang merasakan manfaatnya, dan Bu Wati
pun sudah membuktikan itu kepadaku dan juga teman-temanku. Mengingat kata
pepatah, dimana ada kemauan, disitu ada jalan.
Ini pengalaman nyata gue di sekolah, asli. Sekarang gue udah kelas 9 SMP.. bENTAR LAGI LULUS, Hiks hiks... cepet banget waktu berlalu..